Repository Universitas Harapan Bangsa.
Digital collection of academic papers, undergraduate thesis, research

Repository Universitas Harapan Bangsa.
Digital collection of academic papers, undergraduate thesis, research


Detail Cantuman

Kembali

ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. A DENGAN KEJANG DEMAM SEDERHANA DI RUANG CEMPAKA RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA

XML
Pengarang
Nadya Novelita - Personal Name
Pernyataan Tanggungjawab
Lampiran Berkas
LOADING LIST...
Bahasa
Indonesia
Penerbit
STIKES Harapan Bangsa
Tahun Terbit
2017
Tempat Terbit
Fakultas Ilmu Kesehatan SHB
Deskripsi Fisik

Abstract

Kejang demam atau Febrile Convulsion ialah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38ºC) yang disebabkan oleh proses ekstrakranium. Kejang demam merupakan salah satu gangguan syaraf terbanyak yang sering dijumpai pada anak, terutama pada golongan anak umur 6 bulan sampai 4 tahun. Hampir 3% dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita kejang demam (Ngastiyah, 2014).
Di berbagai negara insiden dan prevalensi kejang demam berbeda. Di Amerika Serikat dan Eropa sekitar 2-5% anak akan mengalami kejang demam. Dalam 25 tahun terakhir terjadinya kejang demam lebih sering terjadi pada saat anak berusia ± 2 tahun (17-23 bulan). Di Indonesia, dilaporkan angka kejadian kejang demam sebanyak 3-4% dari anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun pada tahun 2012-2013. Di propinsi Jawa Tengah mencapai 2-3% dari anak yang berusia 6 bulan sampai 5 tahun pada tahun 2012-2013 (Depkes Jateng, 2013, dalam Wibisono, Wahyuningsih, dan Rufaida, 2014).
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat, yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan saraf pusat; misalnya tonsilitis, otitis media akut, bronkitis, furunkulosis, dan lain-lain. Serangan kejang biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal, atau akinetik (Ngastiyah, 2014).

Selain faktor penyebab diatas, kejang demam juga dapat disebabkan oleh beberapa kondisi diantaranya: efek produksi toksik mikroorganisme, respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau enselofati toksik sepintas (Tobing, 2005; dalam Irdawati, 2009).
Dari beberapa faktor yang dapat menimbulkan kejang demam, faktor genetik/keturunan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini didukung oleh Handy (2015) yang mengungkapkan bahwa faktor risiko terjadinya kejang demam adalah faktor genetik/keturunan, misalnya: orangtua dengan riwayat kejang demam (pada masa anak-anak), saudara kandung dengan riwayat kejang demam, dan orangtua dengan riwayat epilepsi (kejang tanpa demam).
Selain dengan adanya faktor risiko, kejang demam juga dapat dipicu oleh beberapa faktor predisposisi. Menurut Sarah (2016), faktor predisposisi timbulnya bangkitan kejang demam berhubungan dengan riwayat keluarga, riwayat kehamilan dan persalinan, gangguan tumbuh kembang anak, seringnya menderita infeksi, dan kadar elektrolit, seng, dan besi darah rendah.
Menurut Purwanti dan Maliya (2008), kejang demam yang berlangsung singkat tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi kontraksi otot skelet yang akhirnya menyebabkan hipoksemia, hiperkapnea, asidosis lactat, dan hipotensi.
Ngastiyah (2014) menyatakan bahwa dengan penanggulangan yang cepat, prognosis kejang demam baik dan tidak menyebabkan kematian. Risiko yang akan dihadapi oleh seorang anak sesudah menderita kejang demam tergantung dari beberapa faktor, diantaranya: riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga, kelainan dalam perkembangan atau kelainan saraf sebelum anak menderita kejang demam, dan kejang yang berlangsung lama atau kejang fokal. Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor tersebut, maka dikemudian hari akan mengalami serangan kejang tanpa demam sekitar 13%, dibanding bila hanya terdapat 1 atau tidak sama sekali faktor di atas, serangan kejang tanpa demam hanya 2-3% saja.
Menurut Rani (2011) gangguan yang dapat terjadi akibat kejang demam pada anak diantaranya kejang demam berulang, yaitu kejang demam yang berlangsung lebih dari satu episode demam. Selain itu, dapat terjadi kerusakan neuron otak yang dapat disebabkan oleh kejang yang berlangsung lama ( lebih dari 15 menit) yang biasanya disertai dengan apnea. Gangguan perkembangan berupa retardasi mental juga dapat terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan pengobatan yang adekuat. Ngastiyah (2014) mengemukakan pada pasien kejang demam yang sebelumnya telah terdapat gangguan perkembangan atau kelainan neurologis akan didapat IQ yang lebih rendah dibandingkan dengan saudaranya.
Menurut Wibisono, Wahyuningsih, dan Rufaida (2014), ditemukan angka kematian kejang demam sebesar 0,46-0,74%. Dampak kejang demam bila tidak ditangani akan terjadi kerusakan sel-sel otak akibat kekurangan oksigen dalam otak, pengeluaran sekret berlebih dan risiko kegawatdaruratan untuk aspirasi jalan nafas yang menyebabkan tersumbatnya jalan nafas.
Kejadian kejang demam pada anak sulit diperkirakan waktu terjadinya. Sebagai salah satu kegawatdaruratan medis yang memerlukan pertolongan segera, kejang demam memerlukan diagnosa secara dini serta pengelolaan yang cepat untuk menghindari cacat yang lebih parah akibat bangkitan kejang yang sering. Oleh karena itu, perawat dituntut berperan aktif dalam mengatasi keadaan tersebut serta mampu memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dan keluarga yang meliputi aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif secara terpadu dan berkesinambungan serta memandang pasien sebagai satu kesatuan yang utuh secara bio-psiko-sosial-spiritual. Prioritas asuhan keperawatan pada kejang demam adalah mencegah / mengendalikan aktivitas kejang, melindungi pasien dari trauma, mempertahankan jalan napas, meningkatkan harga diri yang positif, memberikan informasi kepada keluarga tentang proses penyakit, prognosis, dan kebutuhan penanganannya (Wong, 2008; dalam Putra, Mulyadi, dan Amatus, 2014).
Untuk mendukung hal tersebut tentunya sebagai perawat perlu memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang penanganan kejang demam. Sebagian perawat yang berpendidikan tinggi memiliki penanganan kejang demam yang baik, hal ini didukung dengan hasil penelitian Putra, Mulyadi, dan Amatus (2014) bahwa dari 33 perawat sebanyak 66,7% diantaranya memiliki penanganan kejang demam yang baik, yang didukung dengan tingkat pendidikan yang baik.
Adapun penanganan yang dilakukan perawat pada pasien kejang demam diantaranya penanganan dengan pemberian posisi untuk mempertahankan suplai oksigen pada anak kejang supaya tidak berdampak fatal seperti kematian. Airway adalah komponen yang pertama kali dinilai untuk mengkaji kelancaran jalan nafas. Penanganan airway juga harus dipikirkan adanya dugaan trauma pada vertebra servikal (Wibisono, Safitri, dan Fitriana, 2014).
Upaya selanjutnya untuk menangani pasien kejang demam yaitu dengan memperhatikan jalan nafas bebas untuk menjamin kebutuhan oksigen. Perawat perlu mengkaji apakah ada muntah, pendarahan, benda asing dalam mulut, seperti lendir dan dengarkan bunyi nafas, serta menghisap lendir dengan suction. Penanganan bantuan pernafasan juga dapat dilakukan dengan oksigenasi (Nur, 2012; dalam Wibisono, Safitri, dan Fitriana, 2014).
Menurut Putra, Mulyadi, dan Amatus (2014) upaya selanjutnya yang dilakukan pada pasien kejang demam yaitu dengan membimbing pergerakan pasien untuk mencegah cedera. Pasien kejang demam memiliki risiko cedera yang tinggi. Oleh karena itu, sebaiknya saat terjadi kejang pasien dibaringkan di tempat yang rata. Usahakan agar orang tua tetap menemani anak yang sedang kejang untuk mengantisipasi anak jatuh dan singkirkan benda-benda yang ada di sekitar pasien agar tidak membahayakan pasien (Ngastiyah,2014).
Terkait dengan kejadian kejang demam, tentunya rumah sakit di daerah Jawa Tengah terutama di Kabupaten Purbalingga sering menangani kejadian tersebut. Salah satunya adalah RS dr.R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga sebagai salah satu tujuan rujukan dari fasilitas kesehatan lain di daerah Purbalingga. Berdasarkan hasil studi pendahuluan pada Bulan Januari 2017 yang dilakukan oleh penulis di RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga, diperoleh hasil selama tahun 2016 kejang demam menempati urutan keempat penyakit yang sering dialami oleh anak dengan total kejadian sebanyak 177 kasus, dengan insidensi pasien anak laki-laki sebanyak 99 orang dan pasien anak perempuan sebanyak 78 orang.
Sedangkan sebagai data perbandingan, hasil studi pendahuluan di RSUD Banyumas kejadian kejang demam termasuk di urutan ketiga kategori penyakit yang sering dialami oleh anak. Pada tahun 2016, total kejadian kejang demam di RSUD Banyumas sebanyak 86 kejadian, kejang demam paling sering dialami oleh anak usia 1-4 tahun dengan insidensi pasien anak laki-laki sebanyak 47 orang dan pasien anak perempuan sebanyak 30 orang, sedangkan angka kejadian kejang demam pada anak usia 5-14 tahun sebanyak 9 orang dengan insidensi pasien anak laki-laki 8 orang dan pasien anak perempuan 1 orang.

Kejang demam sederhana

URL : https://repository.uhb.ac.id/index.php?p=show_detail&id=1756
APA Citation
Nadya Novelita. (2017). ASUHAN KEPERAWATAN PADA An. A DENGAN KEJANG DEMAM SEDERHANA DI RUANG CEMPAKA RSUD dr. R. GOETENG TAROENADIBRATA PURBALINGGA. (Digital collection of academic papers, undergraduate thesis & research). Retrieved from https://repository.shb.ac.id




© 2018. UPT Perpustakaan - Universitas Harapan Bangsa, Formerly STIKes Harapan Bangsa Purwokerto, www.uhb.ac.id.
This software and this template are released Under GNU GPL License Version 3 II SLiMS distro version ETD
Made by The Happy Team :-D
web
statistics

SHB YPDP


https://103.189.235.100/