Pada tahun 2012 di dunia diperkirakan terdapat 162 juta balita pendek (stunting), jika tren berlanjut tanpa upaya penurunan, diproyeksikan akan menjadi 127 juta pada tahun 2025. Pada tahun 2012, sebanyak 56% anak pendek hidup di Asia dan 36% di Afrika. Pada tahun 2013 di Indonesia persentase status gizi balita pendek (pendek dan sangat pendek) adalah 37,2%, jika dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) tidak menunjukkan penurunan/ perbaikan yang signifikan. Persentase tertinggi pada tahun 2013 adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%) dan Nusa Tenggara Barat (45,3%) sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,2%) dan DKI Jakarta (27,5%).
Pada tahun 2015 Kementerian Kesehatan melaksanakan Pemantauan Status Gizi (PSG) yang merupakan studi potong lintang dengan sampel dari rumah tangga yang mempunyai balita di Indonesia. Hasil mengenai persentase balita pendek adalah sebagai berikut. Menurut hasil PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.
Data WHO menunjukkan bahwa prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya 20% atau lebih. Karenanya persentase balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga, prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%) dan Singapura (4%) (UNSD, 2014). Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita.
Selain prevalensinya yang terus meningkat, stunting juga mengakibatkan komplikasi yang serius. Stunting berkaitan dengan peningkatan risiko kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan kemampuan motorik dan mental. Balita yang mengalami stunting memilki risiko terjadinya penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan peningkatan risiko penyakit degeneratif di masa mendatang. Stunting juga meningkatkan risiko obesitas, karena orang dengan tubuh pendek berat badan idealnya juga rendah (Kukuh, 2012). Pernyaatan ini didukung oleh penelitian dari Alizna Hizni (dalam Ema, 2017) di Wilayah Pesisir Pantai Utara Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon yang menyatakan ada hubungan antara stunted dengan perkembangan motorik halus (p=0,01), ada hubungan antara stunted dengan bahasa (p< 0,001), ada hubungan antara stunted dan motorik kasar (p
Gizi
Ema Wahyu Ningrum, SST., M.Kes.. (2017). Status Gizi Stunting dan Perkembangan Balita. (Digital collection of academic papers, undergraduate thesis & research). Retrieved from https://repository.shb.ac.id