Kesehatan jiwa menurut World Health Organization (WHO) adalah ketika seseorang tersebut merasa sehat dan bahagia, mampu menghadapi tantangan hidup serta dapat menerima orang lain sebagaimana seharusnya serta mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain. Kesehatan jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Kondisi perkembangan yang tidak sesuai pada individu disebut gangguan jiwa (UU No.18 tahun 2014).
Faktor penyebab gangguan jiwa antara lain jenis kelamin, usia, pekerjaan, pendidikan, status pernikahan, keadaan biologis (gangguan jiwa sebelumnya, keturunan, trauma kepala, putus obat, penyakit fisik), psikologis (tipe kepribadian, pengalaman tidak menyenangkan, keinginan tidak terpenuhi, konsep negatif, pola asuh), sosial (tidak bekerja, tidak ikut kegiatan sosial, tidak mempunyai teman dekat, konflik dengan keluarga/teman, penghasilan kurang, tidak sekolah/putus sekolah, kehilangan orang berarti) (Rinawati dan Alimansur, 2016).
Gangguan jiwa menurut American Psychiatric Association (APA) adalah sindrom atau pola psikologis atau pola perilaku yang penting secara klinis, yang terjadi pada individu dan sindrom itu dihubungkan dengan adanya distress (misalnya, gejala nyeri, menyakitkan) atau disabilitas (ketidakmampuan pada salah satu bagian atau beberapa fungsi penting) atau disertai peningkatan risiko secara bermakna untuk mati, sakit, ketidakmampuan, atau kehilangan kebebasan (APA dalam Prabowo, 2014).
World Health Organization (WHO) tahun 2009 memperkirakan 450 juta orang diseluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini, dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini terjadi pada dewasa muda usia 18-21 tahun (WHO dalam Hidayati, 2012).
Data statistik dari Direktorat Kesehatan Jiwa (2010), masalah kesehatan jiwa dengan pasien gangguan jiwa terbesar adalah skizofrenia sebesar 70%. Skizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi fungsi berfikir dan berkomunikasi, menerima dan menginterpretasikan realita, merasakan dan menunjukan emosi serta berperilaku (Stuart & Laraia, 2013).
Skizofrenia diakibatkan karena adanya gangguan pada struktur otak yang mengakibatkan perubahan kemampuan berfikir, bahasa, emosi, perilaku sosial dan kemampuan berhadapan dengan realita secara tepat. Pasien dengan skizofrenia memiliki karakteristik gejala positif yaitu meliputi adanya waham, halusinasi, disorganisasi pikiran, bicara dan perilaku yang tidak teratur yaitu berupa perilaku kekerasan (Videback, 2008).
Data laporan Riskesdas (2013) menunjukan bahwa prevalensi yang ditunjukan dengan gejala-gejala depresi adalah sebesar 6% untuk usia 15 tahun keatas atau sekitar 14 juta orang. Sedangkan prevalensi gangguan jiwa berat seperti skizofrenia adalah 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Berdasarkan jumlah tersebut, ternyata 14,3% diantaranya atau sekitar 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka pemasungan dipedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan angka di perkotaan yaitu sebesar 10,7%. Jumlah seluruh RT (Rumah Tangga) yang dianalisis adalah 292.959 terdiri dari 1.027.763 ART (Anggota Rumah Tangga) yang berasal dari semua umur. Rumah tangga yang menjawab memiliki ART dengan gangguan jiwa berat sebanyak 1655, terdiri dari 1588 RT dengan 1 orang ART, 62 RT memiliki 2 orang ART, 4 RT memiliki 3 ART, dan 1 RT dengan 4 orang ART yang mengalami gangguan jiwa berat. Jumlah seluruh responden dengan gangguan jiwa berat berdasarkan data Riskesdas 2013 adalah sebanyak 1728 orang.
Prevalensi psikosis tertinggi berada di Yogyakarta dan Aceh (masing-masing 2,7 %), sedangkan yang terendah di Kalimantan Barat (0,7 %) sedangkan provinsi jawa tengah 2,3%. Berarti dengan jumlah populasi orang dewasa Indonesia lebih kurang 150.000.000 ada 405.000 orang saat ini mengalami gangguan jiwa di Yogyakarta dan Aceh, Kalimantan Barat ada 105.000 orang dengan gangguan jiwa, sekitar 345.000 orang dengan gangguan jiwa ada di Jawa Tengah (Riskesdas, 2013). Kemudian spesifik di daerah Banyumas, diwakili oleh RSUD Banyumas, terdapat setidaknya 102 pasien gangguan jiwa pada tahun 2017, dan 60 diantaranya memiliki risiko perilaku kekerasan.
Salah satu gangguan jiwa berat yaitu perilaku kekerasan, merupakan respon terhadap stresor yang dihadapi oleh seseorang yang ditunjukan dengan perilaku aktual melakukan kekerasan, baik pada diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, secara verbal maupun non verbal, bertujuan untuk melukai orang lain secara fisik maupun psikologis (Yosep, 2014).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Anggadewi (2008) dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, dampak dari gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan dibedakan menjadi dampak secara fisik dan psikologis. Dampak secara fisik adalah keadaan dimana tubuh terjadi cedera yang memerlukan penanganan medis akibat dari perilaku kekerasan, misal luka robek karena sayatan benda tajam setelah memecahkan sesuatu. Sedangkan dampak psikologisnya adalah keadaan mental yang terganggu setelah pasien melakukan perilaku kekerasan, misal merasa cemas dan menyesal, murung, timbulnya kesan negatif, mencederai diri sendiri, mencederai orang lain. Menurut Videbeck (2008) beberapa orang yang mengalami perilaku kekerasan, mengalami agitasi dan tampak kecewa, menarik diri dan menyendiri, tampak hilang rasa dan tidak menyadari lingkungan sekitarnya (Videbeck, 2008).
Asuhan keperawatan perilaku kekerasan terdiri dari managemen krisis yaitu asuhan keperawatan saat terjadi kekerasan, managemen perilaku kekerasan (MPK) yaitu asuhan keperawatan yang bertujuan melatih pasien mengontrol perilaku kekerasan dan pendidikan kesehatan tentang managemen perilaku kekerasan pada keluarga (Setianto, 2009). Managemen Perilaku Kekerasan (MPK) itu sendiri terdiri atas Strategi Preventif (Kesadaran diri, Pendidikan Pasien, latihan asertif), Strategi Antisipasif (Komunikasi, perubahan lingkungan, tindakan perilaku, psikofarmakologi), Strategi Pengurungan (Managemen krisis, seclusion, restrains) (Yosep, 2014).
Penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih, Keliat dan Hastono (2011) mengenai Managemen Perilaku Kekerasan (MPK) di RSUD Banyumas dengan judul “Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Dengan Assertiveness Training (AT)” mengalami penurunan secara bermakna terhadap risiko mencederai orang lain daripada kelompok yang hanya mendapatkan terapi generalis.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk menurunkan tingkat risiko mencederai orang lain dengan judul “Asuhan Keperawatan Gangguan Keamanan : Risiko Perilaku Kekerasan Terhadap Orang Lain Pada Ny. D di Ruang Nakula RSUD Banyumas”.
URL : https://repository.uhb.ac.id/index.php?p=show_detail&id=2270
APA Citation
Amanda Isnaeni. (2018). Asuhan Keperawatan Gangguan Keamanan : Risiko Perilaku Kekerasan Terhadap Orang Lain Pada Ny. D di Ruang Nakula RSUD Banyumas. (Digital collection of academic papers, undergraduate thesis & research). Retrieved from https://repository.shb.ac.id